SULSEL.UPDATE24JAM.ID, MAKASSAR -Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan diduga telah menodai citra Kejaksaan dengan membiarkan terpidana 1,6 tahun penjara, Silferster, tidak dieksekusi. Silferster dipidana akibat penghinaan terhadap HM Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI ke-10 dan 12. Padahal, biasanya Kejaksaan amat galak melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Meski Silferster mengajukan Peninjauan Kembali atau PK, tetapi upaya hukum luar biasa tersebut tidak boleh menghalangi pelaksanaan putusan Mahkamah Agung yang telah inkracht.
"Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan terkesan sangat mengistimewakan Silferster atau boleh jadi ada oknum pejabat Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Kejaksaan Tinggi DKI, bahkan Kejagung yang takut melaksanakan eksekusi terhadap Silferster karena dugaan adanya oknum yang melindunginya. Jika demikian adanya, maka lebih baik bubarkan saja Kejaksaan karena sudah tidak bisa menegakkan hukum dengan adil," tegas Pembina Institut Hukum Indonesia (IHI), Dr H Sulthani SH MH, ketika diminta tanggapannya terkait belum dilaksanakannya putusan kasasi MA terhadap Silferster, Sabtu, 15 Agustus 2025.
Sungguh memalukan, lanjut dia, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan jika tidak berdaya mengeksekusi putusan pengadilan terhadap Silferster.
"Institut Hukum Indonesia mengutuk keras sikap diskriminatif dalam proses penegakan hukum karena sesungguhnya itulah kejahatan sejati," tegasnya.
Penegak hukum yang tidak berlaku adil, lanjut dia, sesungguhnya adalah penjahat. Sebab, apa yang dilakukan, juga melanggar hukum Pasal 270 KUHAP yang memerintahkan jaksa selaku eksekutor putusan inkracht, melanggar konstitusi dan hak asasi manusia. Artinya, penegak hukum demikian menempatkan warga negara tidak setara dihadapan hukum. Sebagaimana Pasal 27 UUD 1945 dan Pasal 5 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan hak setiap orang setara di depan hukum.
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tidak boleh membiarkan polemik tanpa melaksanakan putusan pengadilan yang telah inkracht terhadap Silferster, karena amat merusak citra dan wibawa penegak hukum, khususnya kejaksaan. Sungguh tidak ada alasan dan dasar hukum untuk menunda-nunda sejak tahun 2019 hingga sekarang tidak dieksekusi. "Sangat biadab penegakan hukum yang demikian karena terpidana lain biasanya justru dikejar-kejar oleh oknum Intel kejaksaan jika sudah ada putusan terhadap terpidana yang telah berkekuatan hukum tetap," katanya.
Hal serupa, dia mengingatkan kepada seluruh aparat kejaksaan di seluruh Indonesia, untuk menegakkan hukum secara adil (*)
Social Footer