Breaking News

Sidang Anak Sampai Larut Malam, Sulthani Duga Ada Upaya Pemaksaan Vonis

SULSEL.JEJAKKASUS.ID, BONE - Sidang perkara pidana anak yang melibatkan terdakwa Rahmat berlangsung hingga larut malam di Pengadilan Negeri Watampone. Kuasa hukum Rahmat, Dr. H. Sulthani, S.H., M.H., menyatakan bahwa proses persidangan terkesan dikebut untuk segera menuntaskan perkara.
“Kami menghargai semangat kerja hakim yang ingin cepat menyelesaikan perkara ini. Namun proses hukum tetap harus berlangsung sesuai ketentuan undang-undang, kode etik, dan asas praduga tak bersalah,” ujar Sulthani kepada wartawan usai sidang.

Sulthani, yang juga merupakan pembina Institut Hukum Indonesia (IHI), menekankan pentingnya menjamin hak-hak semua pihak di ruang sidang. Ia mengingatkan bahwa terdakwa tidak boleh diperlakukan sebagai objek terkesan bersalah, melainkan harus diperlakukan sebagai subjek hukum dengan menghormati asas praduga tak bersalah dan hak asasi manusia yang wajib dihormati.

Sidang yang digelar hingga malam hari itu telah memasuki tahap akhir pembuktian. Majelis hakim dijadwalkan memberi kesempatan kepada jaksa penuntut umum untuk menyusun tuntutannya pada pekan depan.
Namun, menurut Sulthani, terdapat kejanggalan persidangan kali ini. Ia menyoroti tiba-tiba ada permintaan kompensasi senilai Rp 40 juta dari ibu terduga korban. Padahal sebelumnya tidak pernah disampaikan dalam persidangan. Meski demikian
“Permintaan kompensasi seharusnya setelah terbukti adanya kesalahan terdakwa yang telah berkekuatan hukum tetap. Fakta di persidangan justru mengungkap adanya permintaan ibu anak korban sebesar Rp 195.000.000,- lewat bukti chat. Jika tidak mampu dilanjut,” katanya. Korelasi permintaan kompensasi Rp.40.000.000.- diduga untuk menutupi kesan dugaan permintaan secara tidak wajar sebesar Rp.195.000.000,- disertai telanan proses hukum pidana 

Lebih lanjut, Sulthani menyebut dakwaan terhadap kliennya kabur dan tidak memenuhi syarat materiel. Ia mempersoalkan validitas visum yang dijadikan bukti petunjuk oleh jaksa.
“Visum itu dibuat tahun 2023, sementara peristiwa disebut terjadi pada 2022. Tidak mungkin dijadikan dasar hukum. Terlebih, tidak ada observasi psikolog dan tidak ada saksi yang melihat langsung kejadian. Bahkan, lokasi peristiwa disebut terjadi di Malino, tidak ada fakta hukum peristiwa di Bone. Artinya, Pengadilan Negeri Watampone tidak berwenang mengadili,” ujar Sulthani.

Ia menegaskan bahwa pihaknya akan menyampaikan pledoi atau nota pembelaan pasca tuntutan jaksa. (*)

Iklan Disini

Type and hit Enter to search

Close